Masjid Raya Gantiang di Kota Padang, Sumatera Barat, dilihat dari depan, Jumat (6/7). Masjid tersebut merupakan salah satu masjid tertua di Kota Padang.
Dhealova88 - Sebanyak 25
tiang berdiri kokoh di dalam Masjid Raya Gantiang yang terletak di Jalan
Gantiang Nomor 10, Kelurahan Gantiang Parak Gadang, Kecamatan Padang
Timur, Kota Padang, Sumatera Barat. Tiang-tiang yang menjadi penyangga
utama masjid tersebut merepresentasikan jumlah 25 nabi dan rasul yang
harus diimani dalam ajaran agama Islam.
Pada tiang-tiang itu tercantum nama nabi-nabi tersebut dalam tulisan Arab. Dimulai dari tulisan nama Nabi Adam AS, yang namanya tercantum di tiang paling belakang di pojok kanan, dan ditutup dengan tulisan nama Nabi Muhammad SAW.
”Urutan ini mengikuti cara membaca kitab suci Al Quran yang dimulai dari sisi kanan,” kata imam Masjid Raya Gantiang, Safruddin (57).
Hari itu, Jumat (6/7), atau hanya beberapa hari sebelum awal bulan suci Ramadhan. Sejumlah jamaah memenuhi saf (barisan) depan untuk melaksanakan ibadah shalat ashar secara berjamaah.
Sebagian di antara jamaah merupakan pelintas yang lewat di jalan raya depan masjid tersebut. Beberapa di antara pengunjung datang dengan sejumlah anggota keluarga.
Segera setelah waktu shalat masuk, jamaah berkumpul di sekitar saf terdepan. Saf itu berada dekat dengan baris terakhir tiang-tiang utama penopang masjid.
Tiang-tiang tersebut berjejer dalam lima baris. Diameternya 40 sentimeter bertinggi 4,2 meter dengan cat warna putih. Tanpa hiasan, kecuali nama-nama nabi dalam tulisan Arab dan sedikit cat warna kuning keemasan di bagian teratas dan terbawahnya.
Berdasarkan catatan bagian perpustakaan Masjid Raya Gantiang berjudul Sekilas Sejarah Masjid Raya Gantiang, tiang-tiang itu dulunya terbuat dari batu bata. Tiang-tiang tersebut menjadi penopang atap bagian atap yang berbentuk segi delapan.
Berdasarkan catatan yang sama, atap kubah dengan bentuk itu dikerjakan oleh tukang-tukang asal China di bawah perintah Kapten Lou Chian Ko. Pengaruh arsitek China terlihat dari bentuk atap kubah bertingkat segi delapan yang menyerupai bentuk atap wihara.
Masjid Raya Gantiang kini berdiri megah dengan sebuah kubah utama itu diapit dua menara di kanan dan kirinya. Sebelum masuk ke bagian dalam, di serambinya terlihat tujuh tiang berjejer. Masing- masing terdiri atas dua tiang yang berdampingan. Untuk akses masuk ke dalamnya, terdapat delapan pintu yang bisa dipergunakan.
Safruddin yang berasal dari Kota Payakumbuh, Sumbar, telah 25 tahun menjadi imam di masjid tersebut. Ia mengingat dengan jelas, ketika gempa bumi mengguncang Padang pada 30 September 2009, sembilan tiang sempat mengalami kerusakan.
Masing-masing tiang itu dengan tulisan nama Nabi Ibrahim, Luth, Hud, Musa, Sulaiman, Daud, Isa, Ayub, dan Syu’aib. ”Dari sembilan tiang yang rusak itu, tiang dengan nama Nabi Syu’aib sempat mengalami kehancuran,” kata Safruddin.
Tertua
Perbaikan lalu dilakukan dengan pengawasan petugas Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar. Pasalnya, Masjid Raya Gantiang yang dibangun tahun 1805 itu merupakan salah satu masjid tertua di Kota Padang.
Salah satu masjid tertua lainnya ialah Masjid Muhammadan di Jalan Pasar Batipuh, Kota Padang. Dua masjid ini kerap disebut sebagai masjid tertua di Kota Padang.
Catatan perpustakaan Masjid Raya Gantiang menyebutkan, sebelum mulai dibangun tahun 1805 di lokasi sekarang, masjid tersebut awalnya berdiri di tepi Batang (Sungai) Arau tahun 1790. Pembangunan jalan raya oleh Pemerintah Hindia Belanda menuju Pelabuhan Teluk Bayur membuat bangunan awal itu harus dihancurkan. Letaknya lalu dipindah ke lokasi saat ini.
Lahan masjid dengan ukuran 95,6 meter x 102 meter di lokasi sekarang merupakan wakaf dari tujuh suku yang berada di wilayah itu. Pada bagian selatan bangunan terdapat makam pencetus pembangunan Masjid Raya Gantiang, yakni Angku Syekh Haji Uma.
Namun, Safruddin belum bisa menyebutkan nama suku-suku dimaksud, termasuk latar belakang penyatuan suku-suku tersebut dalam pembangunan masjid.
Akan tetapi, jejak masjid kuno itu sebagai saksi sejarah beragam peristiwa penting terekam dalam catatan perpustakaan Masjid Raya Gantiang. Di antaranya gempa dan tsunami tahun 1933 yang membuat lantai batu bersusun diganti dengan campuran kapur olahan batu apung serta kulit kerang.
Pusat kegiatan
Masjid itu pun jadi pusat gerakan pembaruan Islam di Minangkabau tahun 1918. Selain itu, merupakan lokasi embarkasi haji pertama di kawasan Sumatera bagian tengah.
Bahkan, pekarangan Masjid Raya Gantiang juga menjadi lokasi pertama sekolah atau pondok pesantren Sumatera Thawalib di Padang. Ini terjadi menyusul dimulainya sekolah itu oleh Haji Abdul Karim bin Amrullah di Padang Panjang sekitar satu abad silam.
Safruddin menambahkan, sepanjang bulan suci Ramadhan tahun ini, masjid itu pun jadi pusat sejumlah kegiatan ibadah, antara lain pesantren kilat untuk tingkat SD hingga SMA, tadarus atau membaca kitab suci Al Quran, dan ceramah singkat setelah waktu shalat dzuhur.
Yusi (36), salah seorang penduduk yang tinggal di permukiman berbatasan dengan bagian belakang masjid, mengatakan, selain itu, kegiatan lain, seperti pembagian kebutuhan pokok, juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan jelang hari raya Idul Fitri. Namun, ia mengatakan, kegiatan-kegiatan di masjid itu kini cenderung tidak lagi seramai dulu. ”Mungkin karena sudah banyak orang-orang yang merantau,” ujarnya. (Ingki Rinaldi)
sumber : Pada tiang-tiang itu tercantum nama nabi-nabi tersebut dalam tulisan Arab. Dimulai dari tulisan nama Nabi Adam AS, yang namanya tercantum di tiang paling belakang di pojok kanan, dan ditutup dengan tulisan nama Nabi Muhammad SAW.
”Urutan ini mengikuti cara membaca kitab suci Al Quran yang dimulai dari sisi kanan,” kata imam Masjid Raya Gantiang, Safruddin (57).
Hari itu, Jumat (6/7), atau hanya beberapa hari sebelum awal bulan suci Ramadhan. Sejumlah jamaah memenuhi saf (barisan) depan untuk melaksanakan ibadah shalat ashar secara berjamaah.
Sebagian di antara jamaah merupakan pelintas yang lewat di jalan raya depan masjid tersebut. Beberapa di antara pengunjung datang dengan sejumlah anggota keluarga.
Segera setelah waktu shalat masuk, jamaah berkumpul di sekitar saf terdepan. Saf itu berada dekat dengan baris terakhir tiang-tiang utama penopang masjid.
Tiang-tiang tersebut berjejer dalam lima baris. Diameternya 40 sentimeter bertinggi 4,2 meter dengan cat warna putih. Tanpa hiasan, kecuali nama-nama nabi dalam tulisan Arab dan sedikit cat warna kuning keemasan di bagian teratas dan terbawahnya.
Berdasarkan catatan bagian perpustakaan Masjid Raya Gantiang berjudul Sekilas Sejarah Masjid Raya Gantiang, tiang-tiang itu dulunya terbuat dari batu bata. Tiang-tiang tersebut menjadi penopang atap bagian atap yang berbentuk segi delapan.
Berdasarkan catatan yang sama, atap kubah dengan bentuk itu dikerjakan oleh tukang-tukang asal China di bawah perintah Kapten Lou Chian Ko. Pengaruh arsitek China terlihat dari bentuk atap kubah bertingkat segi delapan yang menyerupai bentuk atap wihara.
Masjid Raya Gantiang kini berdiri megah dengan sebuah kubah utama itu diapit dua menara di kanan dan kirinya. Sebelum masuk ke bagian dalam, di serambinya terlihat tujuh tiang berjejer. Masing- masing terdiri atas dua tiang yang berdampingan. Untuk akses masuk ke dalamnya, terdapat delapan pintu yang bisa dipergunakan.
Safruddin yang berasal dari Kota Payakumbuh, Sumbar, telah 25 tahun menjadi imam di masjid tersebut. Ia mengingat dengan jelas, ketika gempa bumi mengguncang Padang pada 30 September 2009, sembilan tiang sempat mengalami kerusakan.
Masing-masing tiang itu dengan tulisan nama Nabi Ibrahim, Luth, Hud, Musa, Sulaiman, Daud, Isa, Ayub, dan Syu’aib. ”Dari sembilan tiang yang rusak itu, tiang dengan nama Nabi Syu’aib sempat mengalami kehancuran,” kata Safruddin.
Tertua
Perbaikan lalu dilakukan dengan pengawasan petugas Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar. Pasalnya, Masjid Raya Gantiang yang dibangun tahun 1805 itu merupakan salah satu masjid tertua di Kota Padang.
Salah satu masjid tertua lainnya ialah Masjid Muhammadan di Jalan Pasar Batipuh, Kota Padang. Dua masjid ini kerap disebut sebagai masjid tertua di Kota Padang.
Catatan perpustakaan Masjid Raya Gantiang menyebutkan, sebelum mulai dibangun tahun 1805 di lokasi sekarang, masjid tersebut awalnya berdiri di tepi Batang (Sungai) Arau tahun 1790. Pembangunan jalan raya oleh Pemerintah Hindia Belanda menuju Pelabuhan Teluk Bayur membuat bangunan awal itu harus dihancurkan. Letaknya lalu dipindah ke lokasi saat ini.
Lahan masjid dengan ukuran 95,6 meter x 102 meter di lokasi sekarang merupakan wakaf dari tujuh suku yang berada di wilayah itu. Pada bagian selatan bangunan terdapat makam pencetus pembangunan Masjid Raya Gantiang, yakni Angku Syekh Haji Uma.
Namun, Safruddin belum bisa menyebutkan nama suku-suku dimaksud, termasuk latar belakang penyatuan suku-suku tersebut dalam pembangunan masjid.
Akan tetapi, jejak masjid kuno itu sebagai saksi sejarah beragam peristiwa penting terekam dalam catatan perpustakaan Masjid Raya Gantiang. Di antaranya gempa dan tsunami tahun 1933 yang membuat lantai batu bersusun diganti dengan campuran kapur olahan batu apung serta kulit kerang.
Pusat kegiatan
Masjid itu pun jadi pusat gerakan pembaruan Islam di Minangkabau tahun 1918. Selain itu, merupakan lokasi embarkasi haji pertama di kawasan Sumatera bagian tengah.
Bahkan, pekarangan Masjid Raya Gantiang juga menjadi lokasi pertama sekolah atau pondok pesantren Sumatera Thawalib di Padang. Ini terjadi menyusul dimulainya sekolah itu oleh Haji Abdul Karim bin Amrullah di Padang Panjang sekitar satu abad silam.
Safruddin menambahkan, sepanjang bulan suci Ramadhan tahun ini, masjid itu pun jadi pusat sejumlah kegiatan ibadah, antara lain pesantren kilat untuk tingkat SD hingga SMA, tadarus atau membaca kitab suci Al Quran, dan ceramah singkat setelah waktu shalat dzuhur.
Yusi (36), salah seorang penduduk yang tinggal di permukiman berbatasan dengan bagian belakang masjid, mengatakan, selain itu, kegiatan lain, seperti pembagian kebutuhan pokok, juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan jelang hari raya Idul Fitri. Namun, ia mengatakan, kegiatan-kegiatan di masjid itu kini cenderung tidak lagi seramai dulu. ”Mungkin karena sudah banyak orang-orang yang merantau,” ujarnya. (Ingki Rinaldi)
Jadilah Pengunjung yang baik dengan meninggalkan pesan ... ?
0 komentar:
Posting Komentar